Kali ini saya mau bahas tentang Toxic Positivity yang terdiri dari tiga bagian, saya akan menceritakan pengalaman pribadi saya sebagai seseorang yang pernah berada di situasi ini dan saya mengambil referensi mengenai kondisi ini juga dari web kesehatan. Web kesehatan yang saya gunakan adalah Alodokter, Hallosehat dan Halodoc.

Di bagian pertama ini saya mau bahas pengalaman saya ada di dalam suatu komunitas yang menurut saya baik. Orang-orang di dalamnya ramah-ramah dan saya ngerasa di sana gak mungkin ada hal yang negatif.

Saya berada di komunitas ini sekitar lima-enam tahunan dan saya saat ini sudah beberapa tahun tidak lagi berada di dalamnya. Saya baru ngeh kalau saya berada di komunitas yang toxic setelah saya keluar dari sana.

“Positive thinking is a coping mechanism, an automatic coping mechanism. It is void of life. Feeling and experiencing the realness of what is actually happening are the essences of being alive. Feeling, connecting, reacting to the flow– this is all living. Positive thinking happens in the head, meanwhile, it denies the heart its authentic, genuine feelings. Not only does it have the potential to rob you of real and deeper connection which is ultimately necessary to living a passionate and compassionate life; but it even has the potential to cut you off from reality itself. A mask that you put on your face, other people’s faces, and throw over everything around you. We do not become positive by refusing to be real. We become positive people by really living, really feeling, and really rising above anything that would threaten to sink us. You can’t even see what threatens to sink you if you refuse to acknowledge that it’s even there. Why did Titanic sink? Someone refused to see the icebergs.”
― C. JoyBell C.

Toxic positivity adalah kondisi ketika seseorang menuntut dirinya sendiri atau orang lain untuk selalu berpikir dan bersikap positif serta menolak emosi negatif.” – Alodokter.com

“Anda mengartikan toxic positivity adalah keyakinan untuk mempertahankan pola pikir positif tidak peduli seberapa mengerikan atau sulitnya suatu situasi.” – Halodokter.com

Saya ingat waktu saya putus dengan mantan pacar saya, saya nulis status yang sedikit mengandung kekecewaan. Lalu seseorang dari mereka bilang kalau saya gak boleh nulis gtu. Jadi saya dipaksa untuk berpikir positif dan memendam semua kekecewaan dan pikiran negatif saya dan ternyata hal ini berdampak negatif. Saat itu aku pun merasa ada efek negatifnya. Yuk kita bahas.

“Penyangkalan emosi negatif yang terus dilakukan dalam jangka panjang bisa menimbulkan berbagai masalah kesehatan mental, seperti stres berat, cemas atau sedih yang berkepanjangan, gangguan tidur, penyalahgunaan obat terlarang, depresi, dan PTSD.” – Alodokter.com

“Ketika Anda mendengar petuah yang bersifat toxic positivity, ini tidak membuat kondisi Anda menjadi lebih baik. Bisa jadi malah bertambah buruk, terutama bagi Anda yang memang mudah stres atau pernah memiliki penyakit mental, seperti depresi.” – Hallosehat.com

“Seseorang yang percaya pada toxic positivity akan terus berusaha menghindari emosi negatif, padahal perasaan tersebut dihasilkan oleh otak untuk menandakan bahaya. Jika terus dibiarkan, kamu akan kesulitan untuk menilai masalah yang terjadi dan menganggap jika masalah yang terjadi akan terlewati dengan sendirinya.” – Hallodoc.com

Beberapa hal yang akan terjadi ketika kita berada dalam Toxic Positivity menurut Hallodoc.com diantaranya adalah Kebingungan pada Emosi Sendiri dan Sulit Menggambarkan Perasaan.

“Seseorang yang terus fokus pada toxic positivity pada akhirnya dapat mengalami kebingungan oleh emosi yang timbul di dirinya. Gangguan tersebut dapat membuat pengidapnya tidak berpikir secara realistis. Jika terus dibiarkan, rasa kebingungan akan sesuatu yang dihadapi dapat timbul, sehingga sulit untuk mencari solusi dari masalah tersebut. Pada akhirnya, rasa stres semakin bertambah dan menunggu untuk meledak.” – Hallodoc.com

“Orang yang sangat percaya pada toxic positivity akan sulit menggambarkan perasaan negatif pada dirinya. Sehingga, dia tidak dapat mengeluarkan rasa marah dan kesal terhadap suatu hal. Hal tersebut mengakibatkan orang di sekitar tidak tahu masalah yang dirasakan dan terus beranggapan jika semua baik-baik saja. Jika sudah seperti ini, ada baiknya untuk mendapatkan penanganan dari psikolog.” – Hallodoc.com

Tambahan dari pengalaman saya, waktu itu saya dalam kondisi yang dipaksa untuk perpikir positif. Suatu hari, saya mendengar cerita jika ada handphone yang hilang di tempat komunitas saya itu. Saya menolak untuk berpikir negatif dan menggangap masalah tersebut mungkin berasal dari luar, bukan dari dalam komunitas tersebut.

Lalu saya pernah mengembalikan handphone yang tertinggal di kamar mandi dan disitu saya ngerasa kalau hal itu adalah hal yang akan semua yang berada di situ akan lakukan. Tapi setelah kejadian itu dan si pemilik hp memberikan rasa terimakasih, saya sadar jika gak semua orang akan melakukan apa yang saya lakukan.

Ada hal negatif dan ada hal positif di lingkungan kita. Ketika berhadapan dengan masalah karena selalu berpikir “gak mungkin ada orang jahat disitu”, saya akhirnya menyangkal terus menerus perasaan saya.

Ahirnya saya keluar dan saya baru sadar jika orang-orang disana tidak baik, mereka bukan teman sejati saya. Ternyata hanya saya yang menganggap mereka sahabat bahkan keluarga saya. Hal ini saya sadari ketika saya wisuda dan tidak ada satupun ‘teman’ dari komunitas itu yang datang, selain itu ada beberapa orang yang entah mengapa unfollow saya di media sosial.

Saya juga tahu ada beberapa orang yang mengadu domba saya dan menceritakan hal-hal negatif hanya karena saya kelihatannya tidak berkontribusi. Padahal saya bukan gak mau terus-menerus kumpul dengan mereka, tapi saya meprioritaskan kuliah saya, skripsi dan tugas yang menumpuk.

Mungkin mereka menganggap saya kurang baik dan mereka hanya ingin berteman dengan semua orang yang mereka anggap sempurna. Mereka ingin kehidupan yang positif dan sempurna, sedangkan manusia dipenuhi oleh ketidaksepurnaan. Mungkin ada di dalam mereka yang hidupnya yang ga penar dan hanya dengan topeng.. entahlah..

Yupp.. Mungkin visi misi dan tujuan komunitas itu bermaksud baik, namun orang-orang dan cara mereka bersosialisasi di dalamnya yang membuat saya masuk dalam situasi ini.

Saya pun sekarang memiliki teman-teman dan sahabat walaupun berbeda keyakinan dan sifat dan saya tahu kalau mereka itu teman yang sebenarnya. Jadi perlu untuk keluar dan berteman dengan banyak orang dengan pemahaman yang berbeda-beda agar kita lebih terbuka dan memahami lingkungan sosial yang sebenarnya.

So, kalau kalian berada dalam situasi ini, jika butuh penanganan lebih lanjut dapat mengunjungi psikiater ya !

Thanks for reading !!


Tinggalkan komentar