Meski sudah berlangsung lama ternyata peristiwa bom Bali pertama dan kedua masih menghantui dan mempengaruhi kehidupan para korbannya. Beberapa korban mengalami dampak perubahan mata pencaharian bahkan ada yang masih mengalami masalah medis. Ternyata peristiwa yang berlangsung singkat itu berdampak panjang.
LPSK atau Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban bekerjasama dengan Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI) melaksanakan asesmen medis terhadap korban tindak pidana terorisme masa lalu. Kegiatan berlangsung pada Kamis (15/10) di Rumah Makan “Kedaton”, Denpasar.
Pihak LPSK telah membentuk Tim Percepatan Penanganan Korban Terorisme Masa Lalu pada 26 Agustus 2020 yang bertugas untuk melakukan asesmen medis terhadap korban terorisme masa lalu.Hal ini dilakukan dalam upaya melaksanakan PP Nomor 35 Tahun 2020 khususnya dalam memproses permohonan kompensasi korban terorisme masa lalu.
Tujuan kegiatan ini sendiri guna menentukan derajat luka para korban terorisme. Sementara itu, penentuan derajat luka diperlukan sebagai landasan LPSK dalam pengajuan kompensasi bagi korban terorisme masa lalu yang mengacu pada peristiwa sebelum lahirnya Undang–Undang Nomor 15 Tahun 2018.
Seperti yang telah diketahui, Bali telah mengalami tragedi terorisme yaitu bom sebanyak dua kali yang berdampak besar, ratusan nyawa melayang. Selain itu, banyak orang terkena dampak secara fisik maupun psikologis yang berdampak hingga saat ini di kehidupan mereka.
Peristiwa bom Bali yang pertama terjadi pada 12 Oktober 2002 di Jalan Legian, Kuta. Selanjutnya, Bom Bali yang kedua terjadi pada 1 Oktober 2005 di kawasan Kuta dan Jimbaran. Ratusan nyawa melayang pada dua tragedi tersebut.
Saat kegiatan berlangsung, seorang korban bom Bali satu, Ibu Tumini, 45, asal Banyuwangi yang kini berdomisili di Tuban menceritakan pengalamannya. “Kalau saya, luka saya satu tubuh, semua, luka saya dulu 45 persen,” katanya.
Ibu Tumini ternyata bekerja di Paddy’s pub dan dirinya baru datang ke tempat kerja sekitar setengah jam sebelum bom terjadi. Hingga saat ini dampak kesehatan yang dia rasakan adalah gendang telinga yang pecah lalu ada beberapa materil karena ledakan yang bersarang di kepala dan juga di tubunnya yaitu daerah payudara.
Dampak bom ini membuat Ibu Tumini harus masuk ruang operasi berkali-kali. “Sudah capek saya masuk ruang operasi berkali-kali, di Australi saya masuk ruang operasi empat kali, saya di Sanglah lima kali, di Wangaya saya ambil serpihan satu kali,” paparnya
Akibat dari kejadian ini dirinya tidak bekerja lagi namun membuka usaha sendiri. Kini dirinnya berprofesi sebagai penjual sembako, nasi lalapan dan nasi soto.
Selain Ibu Tumini, ada lagi korban bom Bali dua yaitu Ibu Ni Nyoman Ariningsih yang bercerita bahwa dirinya masih mengalami dampak dari peristtiwa bom tersebut.
“Masih, telinga saya masih sakit, ini ga normal telinganya, kalau denger suara keras sakit dan perih,” ujarnya saat di temui di sela sela kegiatan bersama pihak LPSK. Dirinya mengaku tidak bisa menelepon lewat hp seperti kebanyakan orang, jadi setiap menelepon dia akan menggunakan speaker.
Sayangnya, setelah kejadian ibu Nyoman tidak bisa bekerja lagi seperti biasa yang dulu ia lakukan yaitu bekerja di cafe. Dampak fisiknya membuat badanya sakit ketika berjalan san melakukan aktifitas lainnya. “Setelah itu saya buka usaha sembako,” ceritanya.
Dalam kegiatan ini selain dilakukan asesmen medis terhadap korban, diberikan juga bentuk bantuan lainnya. Perlu dikethui, sesuai ketentuan Pasal 1 angka 3 UU 13/2006, LPSK adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban.
Karena itu, bentuk-bentuk perlindungan yang diberikan LPSK kepada saksi dan korban yang pertama adalah perlindungan fisik dan psikis, adanya perlindungan hukum dan juga adanya pemenuhan hak prosedural saksi.
Thanks for reading !! ^^

