Catatan: Hasil tugas wawancara ketika penulis menjalani perkuliahan di Jurnalistik Unpad (2013)
Jan Piter H Sitompul
Wartawan SIB (Sinar Indonesia Baru) di Bandung
“Wartawan adalah penulis, tapi penulis belum tentu wartawan”
Bapak Jan Piter H Sitompul (62) menceritakan banyak pengalamannya mengenai dunia Jurnalisme saat di temui di rumahnya, Bandung (9/12). Ia telah lebih dari tiga puluh tahun menekuni pekerjaan sebagai wartawan, terutama menjadi wartawan di media cetak harian. Saat ini pun ia masih aktif menulis di surat kabar harian Sinar Indonesia Baru.
Dulu Bapak kuliah dan lulusan mana dan mengapa saat ini bisa menjadi wartawan ?
Saya dulu fakultas hukum, sampai 4 tahun di Unpas , tapi tidak sampai selesai. Saya 6 bulan kursus wartawan di Jakarta. Tapi saya memang ilmu wartawan tidak terlalu formal, tapi saya mungkin punya talenta di bidang itu.
Selama ini sudah bekerja di mana saja dan sudah berapa tahun ?
Banyak, pernah di harian umum Medan, Semarang, sinar pagi Jakarta, terahir sekarang harian umum Sinar Indonesia baru, Medan. Saya selama jadi wartawan tinggal di Bandung tapi suka meliput ke mana-mana, keliling Indonesia lah, bahkan tahun 1992 saya sudah ke Amerika, meliput peluncuran satelit palapa B4, bulan Mei.
Kebanyakan bekerja di Media Cetak yah ?
Iya, saya belum pernah di radio, di TV. Media cetak aja, lebih cocok.
Bapak masih aktif hingga sekarang, tapi merurut yang saya tahu wartawan pension umur 55 tahun ?
Saya berterimakasih, saya sudah 62, masih belum dipensiunkan, masih aktif. Tergantung medianya itu, suara karya waktu itu saya ingat 56. Tergantung, peraturan di Kompas beda, Pikiran Rakyat beda, televisi mungkin beda, tergantung perusahaanya. Saya kebetulan sampai malam in masib belum dipensiunkan, saya masih aktif meliput dan menulis berita.
Apa suka duka sebagai wartawan ?
Banyak, suka dukanya kita itu kita ketemu dengan orang-orang hebat. Jadi wartawan itu gak punya golongan yah, ada yang bilang wartawan itu hanya satu strip diatas gelandangan, agak rendah yah. Nah, disisi lain, hanya satu strip dibawah menteri, artinya kita itu sering bicara, biasa dengan orang-orang hebat, dapat prioritas. Dukanya, saat ini kan banyak wartawan yang tidak bagus, kita jadi sering tidak dihargai orang, melihat kenyataan banyak wartawan yang tidak benar.
Bagaimana menurut pendapat Bapak tentang sekolah dan perkuliahan Jurnalistik saat ini ?
Kebetulan saya punta talenta di bidang itu, jadi tergantung gurunya dan kita menjiwainya. Hendaknya profesi itu sesuai dengan talenta, banyak orang yang menurut orang tua, dipaksa, kurang baik sepertinya, salah alamat begitu. Tapi yang pasti begini, itu pendidikan formal kan dasar yah, jadi kalau saja saya sarjana Fikom, pasti saya lebih hebat dari keberadaan saya saat ini. Menurut saya, salah satu tanda-tanda wartawan hebat beritanya itu sering dimuat, beberapa kali berita saya headline. Ada wartawan yang sampai pension belum pernah beritanya headline. Banyak berita itu, mana yang kita angkat, mana yang kita buat, mana yang kita ekspose, lalu apa judulnya.
Siapa tokoh wartawan saat ini dan siapa wartawan yang Bapak kagumi ?
Kalau wartawan sekarang Harmoko, dari pos kota dari bawah. Mantan Menteri penerangan tapi sekarang sudah tidak aktif. Jakarta masih banyak tokoh, yang di tempo itu.
Bagaimana dengan penarapan kode etnik jurnalistik saat ini ?
Kita sanggat prihatin saat ini sejak jaman reformasi banyak wartawan tidak benar, malah makin banyak wartawan yang memeras. Jadi masyarakat sulit mmbedakan hal itu, jadi kita dianggap seperti itu kita, itu sedihnya. Dibilang “yang suka minta amplop yah” miris kita. Memang tidak semua, tapi banyak, yang seperti itu banyak. Pada era reformasi karena tidak ada pengewasan, banyak menjadi wartawan karena pelarian, banyak PHK, dari pada menganggur lebih baik menjadi wartawan.
Ada wawancara yang paling berkesan bagi Bapak ?
Saya pernah wawancara dengan Jendral A H Nasution tentang pesoalan aceh, waktu itu di kodam 3 siliwangi Bandung.
Pernah gagal wawancara ?
Oh, itu sering. Pejabat-pejabat itu ada yang senang di ekspose, banyak yang tidak mau. Ada yang senang namanya masuk Koran, ada yang tidak suka. Dia takut kita tanya yang bukan-bukan, menulis yang bukan-bukan. Ada off the record, namanya tidak diekspose.
Jika gagal bagaimana ?
Kita tulis apa adanya, jujur. Berita itu darimana aja, saya bisa beritakan dari satpam, tukang parkir, tapi kita harus menjaga sumber berita. Hargai sumber berita, kalau tidak mau disebutkan namanya jangan sebutkan. Jadi wartawan itu direndahkan, dihina sudah biasa, kalau tidak mau, jangan jadi wartawan. Saya sering diancam, waktu pertikaian HKBP.
Bagaimana mensiasati orang yang tidak mau berbicara banyak ketika wawancara ?
Kiat-kiatnya yakinkan bahwa kita akan menulis yang jujur, benar.
Pernah ada yang wawacara pesanan ?
Tadi pagi ada orang yang minta wawacara, hanya saja itu kebijakan redaksi untuk mengambil berita itu atau tidak.
Bagaimana jika orang yang meminta wawancara tidak memiliki nilai berita dan hanya inggin terkenal, apa siasat Bapak untuk menolak ?
Kita harus memilah-milah mana yang ada nilai beritanya, mana yang tidak. Kalau saya menghindar saja.
Menurut Bapak apa ciri-ciri wartawan yang professional ?
Yang pertama wartawan itu harus punya talenta, yang kedua harus ada pendidikan formal. Banyak wartawan yang hanya lulusan SMP, SMA bisa jadi wartawan, harusnya ada pelatihan, saya juga 6 bulan pernah sekolah wartawan. Yang ketiga belajar belajar, jangan pernah berpuas diri. Wartawan adalah penulis, tapi penulis belum tentu wartawan. Banyak mengarang, menguasai kata-kata. Banyak balajar dar pengalaman.
Menurut Bapak apa ciri-ciri pewawancara yang professional ?
Dia bisa menangkap topik yang menarik, menarik minat baca.
Bagaimana pendapat Bapak dengan dewan pers dalam mengawasi ?
Dewan pers situ kalau ada pengaduan baru ditangani. Jadi hanya menunggu pengaduan, kalau rugi baru lapor. Masih banyak yang tidak mengetahui bahwa ada dewan pers yang bisa membela kita. Tidak tau hak-haknya.
Bagiamana dengan PWI dan AJI di Indonesia ?
PWI lebih dahulu dari AJI. Jaman Soeharto tidak boleh ada organiasi diluar PWI, tapi saat ini orang bebas mau membuat organisasi apa pun. Bagus lah jadi banyak organiasi sehingga saling bersaing, untuk kemajuan kan, jangan hanya ada satu.
Apakah PWI terlalu ada campur tangan pemerintah karena ada dana bantuan dari pemerintah ?
Gak juga, pasti ada pengaruh karena ada bantuan dari pemerintah. Yang berita kan bukan PWI, tapi wartawan kan terserah mau menulis apa, media yang menulis, PWI hanya perkumpulan saja.

