Sumatera Utara, Kata Jurnal – Bencana banjir yang menerjang Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara menimbulkan dampak luas. Hingga 3 Desember 2025, tercatat 3,3 juta warga terdampak, 753 orang meninggal, 600 masih hilang, serta 2 juta jiwa harus mengungsi. CELIOS memperkirakan kerugian mencapai Rp 68,67 triliun, sementara distribusi bantuan terhambat karena akses logistik rusak parah.
Fenomena Cyclone Senyar yang muncul di Selat Malaka pada saat kejadian menjadi sorotan karena tergolong langka di kawasan katulistiwa. Pemanasan suhu laut akibat perubahan iklim turut memicu terbentuknya siklon tersebut. Pada periode yang sama, Organisasi Meteorologi Dunia PBB mencatat intensitas curah hujan ekstrem di berbagai negara Asia, seperti Indonesia, Thailand, Filipina, Sri Lanka, dan Vietnam. Sejalan dengan itu, deforestasi akibat industri sawit, tambang, dan hutan industri memperburuk kondisi lingkungan yang seharusnya melindungi masyarakat.
Di sisi lain, Indonesia baru saja menghadiri KTT Iklim di Belém dan pulang dengan “Fossil Award” serta jumlah pelobi energi fosil yang paling banyak. Dalam tiga bulan terakhir, banjir juga menimpa wilayah Bali, Jawa, dan Nusa Tenggara dengan jumlah korban jiwa.
Sisilia Nurmala Dewi, 350.org Indonesia Team Lead, menegaskan bahwa “Banjir Sumatera bukan sekedar fenomena alam yang ditakdirkan Tuhan.” Ia melanjutkan pernyataannya dalam kutipan terpisah, “Banjir ini adalah bencana buatan manusia yang didorong oleh pembakaran bahan bakar fosil dan deforestasi.”
Ia juga menyampaikan desakan agar kebijakan pemerintah lebih tegas. Menurut Sisilia, “Pemerintah harus menyelesaikan akar masalah upaya serius untuk mencegah bencana iklim yang kian parah dan terus memakan korban jiwa.”
Sementara itu, Suriadi Darmoko, Field Organizer 350.org Indonesia, menyebut bahwa “Kami berdiri bersama korban banjir Sumatera sebagai saksi bencana cuaca ekstrem makin sering dan intens.” Ia juga mengingatkan proses hukum yang sedang berlangsung menyangkut banjir di Bali. “Saya bersama Koalisi Pulihkan Bali mengajukan gugatan warga negara menuntut pertanggungjawaban pemerintah atas banjir yang terjadi di bali pada 10 September 2025 lalu dan memakan hingga 18 korban jiwa,” ujarnya.
Masih dalam rangkaian pernyataannya, Suriadi menekankan perlunya sumber pendanaan yang adil. Ia menyatakan, “Untuk pendanaan kompensasi yang memadai, kami mendorong pemerintah menerapkan pajak kekayaan bagi orang superkaya yang menumpuk harta dari ekstraksi sumber daya—sawit, HTI, dan terutama energi fosil sebagai kontributor emisi terbesar.”
Dari sisi kondisi lapangan, Arami Kasih dari Climate Rangers Jogja menjelaskan situasi masyarakat yang terdampak. Ia mengatakan, “Masalah tidak selesai saat banjir surut.” Dalam kutipan lainnya, Arami menegaskan, “Akses terputus, listrik padam, jaringan hilang. Kampung lenyap, logistik menipis, air bersih langka.”
Arami juga meminta pemerintah menetapkan status bencana nasional dan bertindak tegas terhadap perusahaan yang merusak kawasan hutan Leuser. Ia mengingatkan bahwa curah hujan ekstrem tetap menjadi faktor pemicu, dan negara kaya serta perusahaan pencemar harus bertanggung jawab.
(Foto: Ilustrasi/Pixabay)

