Nara selalu menjadi orang terakhir yang pulang dari kantor. Bukan karena pekerjaannya menumpuk, tapi karena ia selalu menunggu sosok yang tak lagi bisa ia temui… Arka.
Arka adalah rekan kerja sekaligus orang yang paling membuat hari-harinya hidup. Mereka tidak pernah benar-benar berpacaran, tapi semua orang tahu Arka memperlakukan Nara dengan cara yang sangat… khusus. Perhatian kecil, kopi hangat setiap pagi, atau tatapan yang selalu mengikuti langkah Nara tanpa berlebihan.
Lima bulan lalu, Arka meninggal dalam kecelakaan saat tugas luar kota. Sejak itu, ruangan kerjanya dikunci rapat dan dibiarkan kosong.
Tapi malam ini, sesuatu berbeda.
Saat Nara lewat depan ruangan itu, lampu di dalam tiba-tiba menyala sendiri.
Jantung Nara berdebar.
Di balik kaca buram, ada bayangan seseorang. Berdiri. Diam. Seolah menunggu.
Nara mendekat perlahan, menahan napas. Bayangan itu bergerak… ke arahnya.
“Nggak mungkin…” bisiknya.
Bayangan itu mengangkat tangan. Bukan mengancam—tapi seperti memberi isyarat lembut, kebiasaan Arka kalau memanggilnya dari jauh. Gerakan yang hanya dilakukan orang yang benar-benar mengenal Nara.
Dengan gemetar, Nara menyentuh kaca. Dan saat ujung jarinya menyentuh permukaan dingin itu—
Sentuhan lain membalas dari dalam.
Hangat. Tidak mungkin hangat.
“Nara…” suara berbisik itu pecah samar, seperti berasal dari dalam dinding. Suara yang ia rindukan setiap hari.
Nara terisak. “Arka? Kamu?”
Cahaya lampu ruangan berkedip, lalu sosok itu tampak lebih jelas—cahaya membentuk wajah samar, mata lembut yang dulu selalu membuatnya tenang.
Tapi wajah itu bukan lagi wajah hidup.
Warna kulitnya pucat kebiruan. Lehernya miring seperti masih menyimpan memori patah saat kecelakaan. Dan senyumnya—senyum yang seharusnya lembut—terlihat justru terlalu lebar, terlalu dalam, seolah menahan rasa sakit yang tak selesai.
“Aku pulang… untuk kamu…” suara itu bergetar lirih.
Nara mundur selangkah, bingung antara takut dan ingin memeluknya.
Arka mengangkat sesuatu dari meja—sebuah mug biru yang dulu ia belikan untuk Nara. Mug yang dikabarkan pecah dalam kecelakaan itu.
“Masih nunggu kamu pulang,” katanya. Tangannya bergetar, mug itu disodorkan melalui kaca—padahal kaca tidak terbuka. Seolah benda itu menembus batas dunia.
Ketika mug itu jatuh ke lantai di sisi Nara, tidak pecah. Seperti dipindahkan, bukan dilempar.
Lampu ruangan tiba-tiba padam. Sosok Arka lenyap.
Tapi bisikannya tertinggal.
Dekat sekali di telinga Nara.
“Jangan pulang sendirian malam-malam. Aku tetap ngikutin kamu.”
Dan sejak malam itu, setiap kali Nara menyalakan komputer, ada notepad terbuka sendiri. Pesannya hanya satu:
“Aku masih di sini.”
Kisah Horror, “Dia Masih Menungguku”

